Opini: Metafora Gramatika sebagai Strategi Meningkatkan Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa

Kemampuan menulis karya ilmiah yang baik merupakan salah satu keterampilan yang penting dan wajib dikuasai oleh mahasiswa saat ini. Lebih lagi, mahasiswa dapat memublikasikannya pada jurnal nasional maupun internasional bereputasi.

Namun, kemampuan menulis akademik yang baik, mahasiswa dengan bahasa Inggris sebagai bahasa asing masih mengalami beberapa permasalahan. Salah satunya adalah terkait dengan pemilihan tata bahasa (grammar).

Baca juga: Opini : Pentingnya Literasi Keuangan Bagi Generasi Z

Karya Ilmiah

Berdasarkan literatur yang ada, tata bahasa yang digunakan dalam karya ilmiah mahasiswa masih menggunakan tata bahasa yang digunakan dalam bahasa lisan. Hal ini masih menjadi kendala karena di dalam bahasa tulis akademik cenderung menggunakan tata bahasa yang standar atau baku, kalimat-kalimat yang sederhana, dan penggunaan kata yang lebih padat dibandingkan dengan bahasa lisan.

Hal ini bertujuan untuk menghindari kesalahpahaman pembaca dalam memahami isi teks. Dalam bahasa lisan, klausa-klausa sering disisipkan dalam kalimat induk.

Dalam kalimat Many of the students who hope to enter the university will be disappointed because only one-tenth of those who apply for the admission will be accepted, kata who digunakan berulang-ulang dan lebih diterima pada bahasa lisan.

Kalimat tersebut dapat dipadatkan menjadi Most of the applicants of the university will be disappointed because only one-tenth of them will be accepted.

Setelah mengalami pemadatan pada aspek gramatika kalimat tersebut lebih padat dan lebih mudah dimengerti. Keterampilan dan strategi yang diperlukan mahasiswa dalam memadatkan bahasa lisan ke bahasa tulis akademik adalah dengan menguasai alat (tool) yang disebut dengan metafora gramatika.

Metafora gramatika adalah pergeseran bentuk gramatika dari yang kongruen menuju ke yang inkongruen. Metafora gramatika inkongruen merupakan kebalikan dari ungkapan yang kongruen.

Realisasi secara kongruen adalah realisasi yang sewajar-wajarnya sesuai dengan realitas, misalnya benda direalisasikan sebagai nomina, proses direalisasikan sebagai verba, kondisi direalisasikan sebagai adjektiva, dan sirkumtansi direalisasikan sebagai adverbia.

Sebaliknya, pada realisasi secara inkongruen, proses tidak diungkapkan dengan verba tetapi dengan nomina, kondisi tidak diungkapkan dengan adjektiva tetapi dengan nomina, dan sebagainya.

Contohnya adalah pada kalimat companies find it difficult to hire good employees without conducting interviews. Setelah mengalami pergeseran dari kongruen ke inkongruen kalimat tersebut menjadi Interview screenings are key to hiring good employees.

Pada contoh tersebut, frasa verba conducting interviews berubah menjadi interview screenings setelah mengalami proses metafora gramatika. Berdasarkan contoh tersebut, proses pergeseran yang bukan verba menjadi verba disebut dengan nominalisasi.

Jadi metafora gramatika dicapai melalui proses nominalisasi dengan tujuan untuk memadatkan informasi.

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa pada pemilihan tata bahasa tulis, kebanyakan mahasiswa masih memiliki kendala dalam penulisan artikel ilmiah. Bahasa tulis akademik yang dibuat masih banyak mengadung unsur bahasa lisan yang membuat tulisan bertele-tele dan tidak efisien.

Untuk itu, dengan menguasai keterampilan metafora gramatika, ini dapat dijadikan mahasiswa dalam strategi menyelesaikan permasalahan mahasiswa tersebut.

Oleh Dr. Heri Kuswoyo, S.S., M.Hum., Pakar Linguistik Fungsional